Makalah SOSIOLOGI HUKUM

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sosiologi
1.1. Definisi Sosiologi dan Sifat Hakikatnya
Merumuskan suatu definisi (batasan makna) yang dapat mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat, dan hakikatnya yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat merupakan hal yang sangat sukar. Oleh sebab itu, suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja. Sungguhpun penyelidikan berjalan terus dan ilmu pengetahuan tumbuh kearah pelbagai kemungkinan, masih juga diperlukan suatu pengertian yang pokok dan menyeluruh. Untuk patokan sementara, akan diberikan beberapa definisi sosiologi sebagai berikut.

a.       Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
1)      Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala social (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral, hokum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya);
2)      Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala social dengan gejala-gejala nonsosial (misalnya gejala geografis, biologis, biologis, dan sebagainya);
3)      Cirri-ciri umum semua jenis gejala-gejala social
b.      Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
c.       William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi social dan hasilnya yaitu organisasi social.
d.      J.A.A van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang stabil.
e.       Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur social dan proses-proses social, temasuk perubahan-perubahan social.
Apabila sosiologi ditelaah dari sudut sifat hakikatnya, maka akan dijumpai beberapa petunjuk yang akan dapat membantu untuk menetapkan ilmu pengetahuan macam apakah sosiologi itu. Sifat-sifat hakikatnya adalah sebagai berikut:

a.       Sosiologi merupakan suatu ilmu social dan bukan merupakan ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan kerohanian. Pembedaan tersebut bukanlah pembedaan mengenai metode, tetapi menyangkut pembedaan isi, yang gunanya untuk membedakan ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi dan ilmu pengetahuan alam lain yang dikenal.
b.      Sosiologi bukan merupakan disiplin  yang normatif tetapi merupakan suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang terjadi atau seharusnya terjadi. Sebagai suatu ilmu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Artinya sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
c.       Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang murni (pure science) dan bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science). Perlu dicatat bahwa dari sudut penerapannya, ilmu pengetahuan dipecah menjadi dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan murni. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa mengguanakannya dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan terapan adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan terseut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat. Tujuan sosiologi adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang sedalam-dalamnya tentang masyarakat, dan bukan untuk mempergunakan pengetahuan tersebut terhadap masyarakat.
d.      Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang kongret. Artinya, bahwa yang diperhatikannya adalah bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat, tetapi bukan wujudnya yang kongret.
e.       Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum. Sosiologi meneliti dan mencari apa apa yang menjadi prinsip atau hokum-hukum umum dari interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi, dan struktur masyarakat manusia.
f.       Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Ciri tersebut menyangkut soal metode yang dipergunakannya yang selanjutnya akan diterangkan pada bab mengenai metode-metode sosiologi.
g.      Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang umum dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus. Artinya, sosiologi mempelajari gejala yang ada pada setiap interaksi antar manusia. Didalam semua bidang atau gejala kehidupan, apakah bidang ekonomi, politik, agama dan lain-lainnya, unsur-unsur a,b,c, ada. Unsur-unsur tersebut merupakan factor-faktor yang dipunyai bidang-bidang kehidupan tadi secara umum. Factor-faktor social tadi itu yang diselidiki oleh sosiologi. Hal ini bukan berarti bahwa sosiologi merupakan dasar ilmu social atau bahwa sosiologi merupakan ilmu social yang umum, tetapi sosiologi menyelidiki factor-faktor social dalam bidang kehidupan apa pun juga. Pusat perhatian sosiologi mungkin bersifat khusus, sebagaimana halnya setiap ilmu pengetahuan, tetapi lapangan penyelidikannya bersifat umum yakni kehidupan bersama manusia
Sebagai kesimpulan, sosiologi adalah ilmu social yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional dan empiris, serta bersifat umum.

1.2.   Objek Sosiologi
Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu social lainnya, objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Agak sukar untuk memberikan suatu batasan tentang masyarakat karena istilah masyarakat telalu banyak mencakup pelbagai factor sehingga kalaupun diberikan suatu definisi yang berusaha mencakup keseluruhannya, masih ada juga yang tidak memenuhi unsur-unsurnya.
Beberapa orang sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi masyarakat seperti berikut :
a.       Maclver dan Page mengatakan bahwa : Masyarakat ialah suatu system dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social. Dan masyarakat selalu berubah.
b.      Ralph Linton. Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan social dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
c.       Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.

1.3. Metode-metode dalam Sosiologi
1.      Metode Kualitatif
Metode kualitatif mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat eksak, walaupun bahan-bahan tersebut terdapat dengan nyata di dalam masyarakat. Di dalam metode kualitatif termasuk metode historis dan metode komparatif, keduanya dikombinasikan menjadi historis-komparatif. Metode historis menggunakan analisis atas peristiwa-peristiwa dalam masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum.
2.      Metode komparatif
Metode komparatif mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat beserta bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan serta sebab-sebabnya. Perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai perilaku masyarakat pada masa silam dan masa sekarang, dan juga mengenai masyarakat-masyarakat yang mempunyai tingkat peradaban yang berbeda atau yang sama.
3.      Metode study kasus (case study)
Metode study kasus (case study) bertujuan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah satu gejala nyata salam kehidupan masyarakat. Study kasus dapat digunakan menelaah suatu keadaan, kelompok, masyarakat setempat (community) lembaga-lemaga maupun individu-individu. Alat-alat yang dipergunakan oleh metode study kasus adalah misalnya wawancara (interview), pertanyaan-pertanyaan (questionnaires), dari daftar pertanyaan-pertanyaan (schedules), participant observer technique, dan lain-lain.
4.      Metode kuantitatif
Metode kuantitatif mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka, sehingga gejala-gejala yang diteliti dapat diukur dengan mempergunakan skala-skala, indeks, tabel, dan formula-formula yang semuanya mempergunakan ilmu pasti atau metematika. Metode yang termasuk jenis metode kuantitatif adalah metode statistik yang bertujuan menelaah gejala-gejala social secara matematis. Akhir-akhir ini dihasilkan suatu teknik yang dinamakan sociometry yang berusaha meneliti masyarakat secara kuantitatif. Sociometry mempergunakan skala-skala dan angka-angka unuk mempelajari hubungan-hubungan antarmanusia dalam masyarakat.

2.      Hukum
2.1. Definisi Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."

2.2. Tatanan Hukum
Bilamana kita berbicara tentang hokum dalam arti luas, maka kita dapat mengartikan hal ini paling baik dengan istilah Tatanan Hukum (Schuts,1981: 12). Tatanan Hukum ini meliputi tiga unsure yang akan diuraikan di bawah ini.
a.       Tatanan pengertian (Definisi) ini meliputi himpunan norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan hokum.
b.      Semua keputusan dan tindakan yang diambil dan terlaksana dalam Tatanan Hukum itu.
c.       Organisasi-oganisasi dan institusi-institusi yang memainkan peranan di dalam organisasi-organisasi itu, seperti, hakim-hakim, anggota-anggota parlemen, advokat-advokat, anggota-anggota kepolisian dan pejabat-pejabat Negara lainnya.

      Sebagaimana dalam suatu agama dikenal adanya Tatanan Pengertian, Tatanan Hukum pun demikian dan yang di dalamnya ditetapkan semua norma dan aturan. Aturan-aturan dan asas-asas dalam hokum ini tidak lahir begitu saja atau hasil serta merta pemikiran manusia.Namun, aturan-aturan hokum ini berkaitan erat dengan norma-norma dan nilai-nilai (non hokum) serta pendapat-pendapat, yang berlaku dalam masyarakat mengenai persoalan-persoalan tentang baik dan buruk.

2.3. Maksud dan Tujuan Tatanan Hukum
      Tidak jarang pula kita lihat di dalam literature, maksud dan tujuan tersebut dirumuskan sedemikian rupa, sehingga pengetian hukum muncul kembali dalam uraian maksud dan tujuan tersebut.
-          Misalnya : tujuan hukum ialah memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan hukum orang-orang dalam masyarakat.
-          Atau : tujuan hukum adalah mempertahankan ketertiban hokum. Dengan formulasi-formulasi seperti ini nampaknya tidak banyak yang kita capai, satu dan lain kita bakal terjebak dalam cara berfikir bolak-balik (Schuyt, 1981: 18).
      Nah apa yang dapat kita lakukan ialah merumuskan tujuan hokum ini dalam istilah-istilah non yuridis. Menurut Schuyt (1981) kita dapat membedakan tujuan-tujuan hokum sebagai berikut :
a.       Penyelenggaraan ketertiban social dalam masyarakat;
b.      Mendorong penyelesaian sengketa tanpa kekerasan;
c.       Menjamin adanya pengembangan individu dan otonomi warganegara-warganegara;
d.      Penyelenggaraan pembagian seadil-adilnya barang-barang langka dalam pergaulan;
e.       Membuka jalan bagi perubahan social.
Di dalam tujuan-tujuan ini kita mengenal kembali problema-problema, yang sejak dulu juga dipelajari dan diulas oleh sosiologi.
a.       Hukum berikhtiar meningkatkan ketertiban social pergaulan hidup. Problematic ini telah kita lihat terutama dalam Bab III, yang didalamnya telah kita kaji permasalahannya yang dituturkan Durkheim perihal Kohesi Sosial dan Integrasi Kemasyarakatan.
b.      Tujuan Kedua dari hukum, yakni menstimulasi penyelesaian sengketa tanpa kekerasan, kita jumpai kembali dalam Sosiologi terutama dalam teori Hobbes dan Weber, yang berkaitan dengan penyerahan monopoli kekerasan kepada Negara.
c.       Tujuan ketiga dari hukum, yakni menjamin adanya pengembangan individu dan otonomi warganegara, juga merupakan problema yang mendapatkan perhatian semua sosiolog. Untuk ini ingat akan cita-cita Marx dan Weber.
d.      Tujuan keempat dari hukum dan tujuan kelima hukum, yakni :
1.      Penyelenggaraan pemagian seadil-adilnya barang-barang langka dalam pergaulan hidup; dan
2.      Membuka jalan bagi perubahan social adalah pula masalah-masalah yang terutama diteliti oleh Weber dan Marx.
Jadi, di sini kita lihat bahwa baik sosiologi mau pun hukum menyibukkan diri dengan inti, bahkan pokok permasalahan yang sama. Yang berbeda disini adalah cara pendekatan dan penyelesaian permasalahan-permasalahannya saja. Malahan bersamaan dengan itu jelas disini, bahwa pendekatan-pendekatan yang beraneka ragam tersebut dapat saling mengisi dengan baik.
Dirumuskan lain: kebanyakan maksud dan tujuan ini terkadang tidak tercapai dan jika hal-hal ini dicapai maka hasilnya pada umumnya mengandung karakter sebuah kompromis antara berbagai partai politik yang ada.

2.4  Fungsi Hukum
1)      Hukum sebagai Sarana Pengendalian Sosial
Selain hukum sebagai pedoman tingkah laku, hukum juga dianggap berfungsi sebagai salah satu sarana pengendalian social (social control). Pengendalian social ini menurut E.A. Ross, mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan social. Dalam hal ini hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. Hukum sebagai sarana control social berguna untuk mempertahankan ketertiban yang sudah ada. Dalam hal ini pengendalian social (control social) tersebut, maka hukum juga berfungsi sebagai pegangan dalam pengendalian social.

2)      Hukum sebagai Sarana Rekayasa Sosial
Seidman (dalam Rahardjo, 1977:65) mengatakan bahwa “To promote economic development, governments must rely upon the law, for the legal order is the filter through which policy becomes practice”. Di sini hukum dilihat sebagai suatu alat atau sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik Negara, tujuan-tujuan praktis (social engineering by law). Dalam “social engineering” (rekayasa social) yang menjadi pokok persoalan adalah: bagaimana kita menggerakkan tingkah laku anggota masyarakat atau mencapai keadaan yang diinginkan melalui hukum. “social engineering” hanya merupakan bagian dari pada usaha pembangunan. Selain hukum dinamakan “a tool of social engineering”, hukum disebut pula sebagai “social planning”.
Namun perlu disadari bahwa hukum juga dapat mengakibatkan situasi sebaliknya. Robert K. Merton (Ritzer, 1985) misalnya, menyatakan bahwa suatu pranata atau institusi tertentu dapat fungsional bagi suatu unit social tertentu dan sebaliknya disfungsional bagi unit social yang lain. Misalnya pranata perbudakan itu fungsional bagi unit social kulit puti dan dis-fungsional bagi unit orang negro. Pranata perbudakan untuk meningkatkan produktivitas di amerika serikat again selatan. Ini artinya bahwa pranata perbudakan mempunyai fungsi manifest (fungsi yang diharapakan), yakni untuk meningkatkan produktivitas. Sebaliknya bagi orang negro itu merupakan pranata perbudakan merupakan fungsi laten (fungsi yang tidak diharapkan), yakni memberikan menyediakan kelas rendah untuk meningkatkan status social orang kulit putih.
Jadi, hukum sebagai pranata social mempunyai fungsi manifest (yang diharapkan), yakni bahwa akibat yang timbul oleh bekerjanya peraturan hukum memang dikehendaki. Dengan demikian, sebenarnya hukum dapat pula dikatakan sebagai alat atau sarana untuk mengubah masyarakat.

3)      Hukum sebagai Sarana Pengintegrasian
Hukum dapat pula untuk mengintegrasikan anggota-anggota masyarakat yang berbeda latar belakangnya. Masyarakat Indonesia yang pluralistis, yang meliputi sejumlah masyarakat yang telah lama ada sebelum kemerdekaan, yang masing-masing memiliki pranata-pranata social yang berbeda, terintegrasi antara lain karena masyarakat Indonesia menerima UUD 1945 sebagai suatu peraturan untuk hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam proses integrasi bangsa, pembentukan dan pembinaan hukum nasional memerlukan kesadaran mengenai adanya dua kutub (Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud, 1986): (1) satu pihak undang-undang yang menjadi bagian dari hukum nasional itu harus memberi perasaan bukan asing bagi golongan-golongan dalam masyarakat dan mereka harus dapat merasakan bahwa nilai-nilai yang mereka anut tetap dilindungi atau tidak terancam dalam hukum nasional tersebut; dipihak lain (2) undang-undang itu harus mempunyai dampak yang menyuburkan iklim bagi pembinaan integrasi bangsa. Ini berarti bahwa berbagai golongan dalam masyarakat tetap mempunyai perasaan bahwa mereka memiliki perasaan “terintegrasi” dalam masyarakat bangsa, dan dengan demikian undang-undang itu mampu memperkuat perasaan “terikat” pada satuan nasional di kalangan berbagai golongan tersebut.
Undang-undang yang sudah baik, masih memerlukan penerapan yang mampu meningkatkan perasaan-perasaan semakin terikatnya warga masyarakat kepada semangat kebangsaan, dan semakin bangganya warga masyarakat atas system hukum dn penerapannya. Dalam hal ini, petugas-petugas yang diserahi tanggungjawab penegak hukum dan pemegang jabatan pada badan-badan peradilan merupakan tokoh-tokoh yang berada digaris depan yang langsung berhubungan dengan para warga masyarakat, sehingga sangat perlu untuk terus-menerus menjadikan mereka mampu berfungsi sebagai lambang dari suatu system hukum yang menghendaki keikutsertaan yang semakin positif yang pada akhirnya akan meningkatkan integrasi bangsa.

3.      Sosiologi Hukum
3.1. Definisi Sosiologi Hukum
Istilah sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Anzilotti (orang Italia) pada tahun 1882” (Soekanto, 1993:13). Sosiologi hukum mengkaji pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala social lainnya (Salman, 1985; Soekanto, 1993:11). Sosiologi hukum mengkaji hukum mengkaji hukum dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat : law as it is observed in the daily life in society (wignjosoebroto,1994). Dalam hubungannya dengan sesama, anggota masyarakat berpedoman pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Kaidah tersebut dapat sesuai dengan aturan tertulis (hukum positif) dan dapat pula tidak. Karena itu, sosiologi hukum mempunyai fungsi untuk mengkaji apakah hukum dan peraturan perundang-undangan berfungsi dalam masyarakat (Soekanto, 1993:18). Dengan kata lain, sosiologi hukum merupakan studi terhadap hukum yang tertuju pada masalah efektivitas hukum maupun akibat-akibat yang tidak diperhitungkan dalam proses legislasi (lihat Soekanto, 1993:24).
              Berikut adalah beberapa pengertian sosiologi hukum yang dikutip oleh Soekanto (1993):
1)      Sosiologi hukum merupakan suatu disiplin teoritis dan umum, yang mempelajari keteraturan dan berfungsinya hukum. Tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk menyajikan sebanyak mungkin kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efisien (Adam Podgorecki);
2)      Sosiologi hukum merupakan kegiatan-kegiatan ilmiah untuk menemukan kondisi-kondisi social yang sesuai atau pun tidak sesuai dengan hukum, serta cara-cara untuk menyesuaikannya (Selznick);
3)      Pusat perhatian sosiologi hukum adalah pengembangan suatu teori umum tentang hukum, yang membahas semua jenis pengendalian social yang dilakukan oleh pemerintah. Teori harus membahas hubungan antara hukum dengan lain-lain aspek kehidupan social, seperti misalnya, stratifikasi, lain-lain bentuk pengendalian social, pembagian kerja, integrasi social, dan seterusnya (Black).

Soekanto (1993:24) mengatakan bahwa study terhadap hukum haruslah tertuju pada masalah efektivitas hukum maupun akibat-akibat yang tidak diperhitungkan dalam proses legislasi. Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau system social yang dinamakan masyarakat. Artinya, hukum hanya dapat dipahami dengan jalan memahami system social terlebih dahulu dan hukum merupakan suatu proses.

3.2. Kegunaan Sosiologi Hukum
   Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemapuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks social
   Penggunaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.
   Sosiologi hukum memberikan kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam masyarakat.

3.3. Masalah-masalah yang disoroti Sosiologi Hukum
  Hukum dan system social masyarakat
        System hukum merupakan pencerminan dari system social di mana system hukum tadi merupakan bagiannya. Sejauhmanakah proses pengaruh mempengaruhi antara system social dengan system hukum sebagai subsistemnya bersifat timbale balik.
  Persamaan dan perbedaan sistem-sistem hukum
     Agar dapat diketahui adanya konsep-konsep hukum yang universal, dengan mencari persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan dari system hukum yang berlaku di berbagai masyarakat yang berbeda-beda.
  Sifat System hukum yang dualistis
     Hukum merupakan suatu kaidah yang berisi ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Namun disisi lain hukum juga merupakan alat yang ampuh untuk mempertahankan kedudukan social ekonomi dari sebagian kecil anggota masyarakat (penguasa).
  Hukum dan Kekuasaan
     Ditinjau dari sudut ilmu politik, maka hukum merupakan sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, atau untuk menambah serta mengembangkannya.
  Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya
     Hukum sebagai kaidah atau norma social tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hukum merupakan suatu pencerminan dan konkritisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat.
  Kepastian Hukum dan Kesebandingan
     Kepastian hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas pokok dari hukum. Sering kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan secara merata. Max Weber membedakan substantive rationality dengan formal rationality untuk kepastian hukum dengan kesebandingan.
  Peranan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, peranan pengadilan, efek suatu peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, tertinggalnya hukum  di belakang perubahan social masyarakat, difusi hukum dan pelembagaannya, hubungan antara para penegak hukum, masalah keadilan.

4.      Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum
4.1. Tiga Pilihan cara dalam Hukum
1)      Kajian Normatif (analitis-dogmatis)
      Kajian ini memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum dilakukan antara lain pada ilmu hukum pidana positif, hukum tata negara positif, dan hukum perdata positif. Dengan kata lain, kajian ini lebih mencerminkan law in books.Dunianya adalah das sollen, apa yang seharusnya.
      Kajian hukum normatif ini lebih ditekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu atau norma yang dinyatakan dalam undang-undang. Metode yang digunakan untuk penelitian terhadap kajian ini adalah metode yuridis-normatif. Kajian normatif ini merupakan kajian yang sangat menentukan puncak perkembangan hukum sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai akibat kemajuan teknologi, industri, perdagangan dan transportasi, terjadilah kekosongan besar dalam perdagangan. Berdasarkan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat masif dan melahirkan suatu orde baru dalam tatanan yang tidak ada tandingannya. Hal inilah yang membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif, positivistik, dan legalistik.
      Menurut Satjipto Rahardjo, metode normatif ini didasarkan pada hal di bawah ini.
1)      Ada penerimaan hukum positif sebagai suatu yang harus dijalankan
2)      Hukum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan(problem solving device)
3)      Partisipasi sebagai subjek yang memihak hukum positif
4)      Sikap menilai atau menghakimi anggota masyarakat, berdasarkan hukum positif.

      Kajian normatif terhadap hukum ini dapat dilihat dari hal-hal berikut, yaitu adanya infentarisasi hukum positif, penelitian asas hukum, menemukan hukum konkrit, adanya sistematika hukum, adanya sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan hukum serta sejarah hukum.

2)      Kajian filosofis (Metode Transendental)
   Kajian ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal,yang seyoganya senantiasa menjadi rujukan dalam setaip pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian ini lebih diperankan oleh kajian filsafat hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam kajian hukum, karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom, melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Studi filsafat hukum ini telah berumur lebih dari ribuan tahun. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dari tatanan itu sendiri. Tatanan merupakan isi lain dari kehidupan bersama manusia, sebab manusia adalah makhluk tatanan.
      Filsafat hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum dan kebebasan, hukum dan kekuasaan. (mengenai teori hukum). Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti di bawah ini.
1)      Ontologi hukum merefleksikan hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental terkait, yaitu demokrasi, hubungan hukum dengan orang.
2)      Akseologi hukum merefleksikan isi dan nilai yang termuat dalam hukum, yaitu kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasab dan kebenaran.
3)      Ideologi hukum, yang merefleksikan wawasan manusia dan masyarakat yang melegimitasi hukum.
4)      Epistemologi hukum, yang merefleksikan sejauh mana pengetahuan tentang hukum dapat dijalankan.
5)      Teleologi hukum, yang merefleksikan makna serta tujuan dari hukum.
6)      Ajaran ilmu, yang merefleksikan kriteria keilmuaan ilmu hukum.
7)      Logika hukum, yang merefleksikan aturan berfikir dalam hukum.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah bagian dari filsafat umum. Oleh karena itu, setiap uraian tentang arti (definisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu titik tolak kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu filsafat secara umum.
Tujuan utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari hukum. Ini bararti, filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai tampilan atau menifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Karna itu, filsafat hukum, mengadaikan teori pengetahuan(epistemology) dan etika.

3)      Kajian Empiris
      Kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup kenyataan social, kultur. Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari peralihan zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20, metode empiris ini lahir disebabkan karena metode atau kajian hukum secara normative, tidak lagi mendapat tempat. Pendekatan hukum melalui kajian empiris yang lahir di awal abad ke-20 ini bersamaan lahirnya dengan ilmu baru yang oleh A. Comte (1798-1857) diberi nama sosiologi. Olehnya, sosiologi disebut sebagai ilmu tentang tatanan social dan kemajuan social.
      Ketiga pendekatan terhadap hukum itu, merupakan langkah awal bagi kita (hamba hukum) untuk memahami apakah hukum itu? Berlainan dengan tiga pendekatan itu, namun masih memiliki karakteristik  yang sama, Achmad Ali dalam pidatonya ketika menerima jabatan guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, memberikan suatu pencerahan terhadap pendekatan hukum sebagai berikut.
      Pertama, beggriffenwissenchaft adalah ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang hukum, termasuk di dalamnya mata kuliah pengantar ilmu hukum, filsafat hukum, logika hukum, dan teori hukum.Kedua, Normwissenchaft adalah ilmu tentang norma, termasuk didalamnya adalah sebagian besar mata kuliah yang diajarkan fakultas-fakultas hukum di Indonesia, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Tata Negara. Ketiga, Tatsachenwissenchaft adalah tentang kenyataan hukum, termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Hukum & Masyarakat, Antropologi Hukum dan Psikologi Hukum.
      Dari berbagai macam pendekatan terhadap hukum tersebut di atas, hukum dapat dapat ditafsirkan sebagai sebuah konsep. Soetandyo Wigjosoebroto, mengatakan tak ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebut dengan hukum itu. Menurut pendapatnya, dalam sejarah pengkajian hukum, tercatat sekurang-kurangnya ada tiga konsep. Pertama, hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren system hukum alam. Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah positif yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasan politik tertentu yang berlegitimasi. Ketiga, hukum dikonsepkan sebagai institusi social yang riil dan fungsional dalam system kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan dalam proses pemulihan ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru.
    
4.2. Menuju Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum
Abad ke-19 ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Abad tersebut menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealitis. Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada abad ke-19 tersebut, telah menimbulkan semangat serta sikap kritis terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi. Kita mengetahui bahwa pada abad ini suatu tradisi ilmu baru telah berkembang. Ilmu ini nantinya akan mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia, yang semula seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman tradisional.
Pengaruh-pengaruh dari perubahan abad ke-19 menurut Satjipto Rahardjo, telah memberikan pengaruh terhadap cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai. Aliran sejarah telah mulai menarik perhatian orang dari analisis hukum yang abstrak dan ideology kepada lingkungan social yang membentuk hukumnya. Pendekatan hukum pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mulai mendekatkan diri pada hukum dengan masyarakat.
Perubahan abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting bagi munculnya sosiologi hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan melontarkan persoalan sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip kehidupan demokrasi. Kemapanan kehidupan pada abad ke-19 yang penuh dengan kemajuan di banyak bidang bukanlah akhir atau puncak peradaban manusia. Pada abad ini kodifikasi bukanlah akhir dari perkembangan kehidupan hukum.
Sosiologi hukum, merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan merupakan cabang sosiologi terpenting, yang sampai sekarang masih dicari perumusannya. Hingga saat ini, sosiologi hukum masih mempunyai batasan-batasan yang belum jelas, ahli-ahlinya belum mempunyai kesepakatan mengenai pokok persoalan tentang apa itu sosiologi hukum. Apa yang menyebabkan ilmu baru ini terhambat perkembangannya. Menurut penulis, karena ilmu baru ini, dalam mempertahankan hidupnya, harus bertempur di dua front. Sosiologi hukum menghadapi dua kekuatan, yakni dari kalangan para ahli hukum dan ahli sosiologi, yang terkadang keduanya bersatu untuk menggugat keabsahan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Perselisihan ini timbul, seperti yang telah dijelaskan oleh David N. Schiif, yang mengutip dari Aubert.

4.3. Pemikiran Hukum secara Sosiologis
Bertolak dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-perubahan yang cepat semenjak perang dunia II. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh hal dibawah ini.
1.      Profesi hukum, terutama para pengacara, ruang lingkup kerjanya kini semakin luas. Hal itu disebabkan karena pihak-pihak yang memerlukan pelayanan hukum semakin membesar jumlahnya, meliputi semua lapisan masyarakat (misalnya dengan bidang-bidang bentuan hukum).
2.      Hukum, yang bagi kebanyakan orang, tidak lebih daripada sekumpulan undang-undang atau peraturan-peraturan, kini telah berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru karena ilmu hukum kini telah dikembangkan menjadi lebih sistematis serta memiliki teknik penelitian, penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih rumit.
Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, para ahli hukum akan bertemu dengan sejumlah permasalahan yang menuntut suatu cara analisis yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan tradisional. Dengan terciptanya beberapa hak tertentu dari beberapa kelompok, khusunya dalam masyarakat, hukum akan berkaitan erat dengan masalah-masalah hubungan antar bangsa, dengan konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan meningkatkan intervensi (ikut campurnya) pemerintah di dalam pengaturan tata kehidupan. Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu kesadaran diantara para ahli hukum ( kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai variasi dan tingkatan) terhadap kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam pelayanan-pelayanan, atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu hukum tradisional.
Hal tersebut di atas sudah lama dirasakan melalui pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan, dan ketertiban serta peraturannya, yang sangat mudah dipisahkan dari realitas social dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan itu muncul dari refleksi di kalangan akademik, yang mengatakan bahwa prespektif dan metosa studi ilmu social berlaku juga untuk menganalisis institusi hukum.
Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan yang sangat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembagannya. Tak ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu social, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti sebab perubahan-perubahan social, dipanggil untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan social yang amat relevan dengan permasalahan hukum.
Hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini dapat dijadikan objek penelitian saintikfik (non-doktrinal). Hukum tidak lagi dijadikan penggarap untuk menyususn system normatif yang koheren belaka, dengan premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahan, atau dari sumber-sumber yang ranahnya normatif.
Ciri metode yang sangat jelas dalam penelitian non-doktrinal adalah menggunakan peran logika induksi untuk menemukan asas-asas umum dan teori-teori , melalui silogisme. Dalam silogisme induksi ini, premis-premis, selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak perbedaan model penelitian ini dengan model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh para filsuf-moralis ataupun teoritis-positivis untuk menemukan asas-asas umum hukum positif. Panelitian-penelitian doctrinal semacam ini selalu bertolak secara deduktif dari norma-norma yang kebenarannya bernilai formal dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan diverifikasi. Silogisme induksi digunakan untuk memperoleh simpulan-simpulan deskriptif atau eksplanatif tentang ada atau tidaknya hubungan antara berbagai variable social-hukum. Inilah pemikiran secara sosiologis.
Lain halnya apabila kita melihat cara berfikir seorang filosofis. Dalam berpikir, ia akan selalu mempertanyakan yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Cara berfikir sosiologis akan memiliki cara pemahaman yang berbeda dengan cara berfikir orang awam dan seorang filosofis.
Fakta social yang ditangkap oleh seorang sosiolog akan dipertanyakan eksistensinya dalam masyarakat dan diamati kecenderungannya. Sosiolog tidak akan mempertanyakan nilai-nilai kebaikan tetapi melihatnya sebagai objek studi. Sosiolog akan mempertanyakan bagaimanakah mekanisme sosialnya sehingga nilai-nilai kebaikan dapat dipelihara dan kemudian mempertanyakan bagaimana persepsi masyarakat tentang nilai-nilai tersebut?

4.4. Hukum dan Basis Sosialnya
Para ahli hukum yang membicarakan tentang basis social hukum adalah para sosiolog hukum, yang mengembangkan sosiologi hukumnya antara tahun 80-90-an hingga sekarang. Dalam perkembangannya tersebut, mereka dipengaruhi oleh talcoot parson dengan pemikiran postmodernismenya.
Yang menjadi perhatian para ahli sosiologi hukum dalam membicarakan basis social hukum adalah pertautan secara sistematis antara hukum dengan struktur social yang mendukung. Mereka menganalisis bagaimana hukum yang berlaku dalam masyarakat itu cocok atau terjalin ke dalam jaringan interaksi social.
Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan masyarakat, hukum dituntut untuk merespon segala seluk-beluk kehidupan social yang melingkupinya. Itu berarti peranan hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema social yang timbul. Tidak cukup bila hukum hanya dipahami secara yuridis-nprmatif, yakni sebagai tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Hukum juga perlu diberi ruang untuk maksud studi-studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu social

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pasar Input

MAKALAH ANTROPOLOGI BUDAYA