OTOPSI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
                        Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya. Biasanya mayat yang mati karena kasus atau pembunuhan atau juga kecelakaan yang sering terjadi. Hukumnya dalam islam masih di perdebatkan para ulama. Sebenarnya apa sih tujuannya. Dan kalau memang untuk kepentingan negara terus bagai mana dengan mayatnya. Padahal namanya orang mati itu sakitnya luar biasa. Apalagi sampai di otopsi atau di bedah bedah.
            Pada makalah ini akan sedikit menjelaskan tentang bagaimana hukumnya membedah (mengotopsi) seseorang yang telah meninggal dunia. Karena manusia harus dihargai walaupun sudah meninggal sekalipun. Karena biasanya sesudah terjadi suatu peristiwa baru dipikirkan pemecahannya dan menetapkan hukumnya
                        Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam nash tidak ditemukan keterangan yang sharih tentang hukum melakukan pembedahan mayat, sebab bedah mayat seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu. Yang ditemukan hanya dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Hanya saja masalahnya tidak sama persis dengan kasus otopsi. Pembedah perut mayat dilakukan bila mayat itu menelan harta atau didalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan metode membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam praktek yang dilakukan oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak cukup dengan teori-teori yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi mereka langsung diperlihatkan berbagai macam anatomi yang terdapat dalam tubuh manusia, salah satu cara yang telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah otopsi sebagai salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam mengetahui struktur anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam penyakit yang terdapat dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab musabab kematian manusia tersebut yang nantinya berguna dalam persidangan di pengadilan sebagai alat bukti.
Oleh karena itu penggunaan mayat manusia untuk membuktikan ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran merupakan hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga mendapatkan gambaran langsung dan nyata.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, dapat ditarik rumusan masalah berikut ini :
1.Apa Pengertian Bedah Mayat (Autopsi) Serta Pembagian Bedah Mayat (Autopsi)?
2. Apakah Hukum dan otopsi Bagi Kepentingan Penegak Hukum?
3. Bagaimana Pandangan Ulama Serta Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Autopsi?

1.3 Tujuan
                        Berdasarkan latar belakang diatas, diharapkan mahasiswa mengetahui dan mengerti tentang apa itu bedah mayat (autopsi).



BAB  II
PEMBAHASA


2.1   Pengertian Bedah Mayat
            Secara etimologi bedah maya (Autopsi) adalah pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya.
                        Sedangkan secara terminologi bedah mayat adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam. Setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.

2.2   Pembagian Bedah Mayat
                        Ditinjau dari aspek dan tujuannya bedah mayat dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
a.Bedah Mayat Pendidikan Anatomi
Ialah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan praktikum tentang ilmu viral tubuh manusia (anatomi).
                        Praktek yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk mengetahui seluk-beluk organ tubuh manusia. Agar bisa mendeteksi organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit untuk mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya seperti untuk mengetahui penyebab kematiannya seiring maraknya dunia kriminal saat ini, dengan membedah jasad manusia.
                        Dari hal di atas maka timbullah pertanyaan besar “Apakah hal ini dibolehkan secara Syar’i atau tidak, bila yang dibedah adalah mayat muslim” karena praktek seperti ini hampir dilakukan di semua Fakultas Kedokteran.
                        Autopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran, Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT telah menetapkan beberapa kaidah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah SAW diantara kaidah tersebut adalah “Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka yang dilakukan yang paling banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua mufsadat maka dilakukan yang paling ringan mufsadatnya.”[1]
                        Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian termasuk kasus baru yang jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Qur’an dan hadits (nash). Padanan eksplisit dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode Qiyas (analogi). Kasus demikian, dalam kajian Fiqih, dicari solusinya dengan metode tarkhrij. Yakni, dicari analogi pada norma hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh nash.       
     b.  Bedah Mayat Keilmuan (Klinis)
Ialah pembedahan yang dilakukan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit, setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.
Bedah mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara umum atau secara mendalam.
Sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu semasa hidupnya dan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat yang tidak diketahui secara sempurna selama dia sakit.
Dengan melakukan otopsi ini seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian jenazah tersebut, sehingga kalau memang itu suatu wabah dan di khawatirkan akan menyebar bisa segera diambil tindakan preventif, demi kemashlahatan. Otopsi klinis biasanya dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, dan kadang ada kalanya ahli waris sendiri yang memintanya.

                   c.  Bedah Mayat Kehakiman (Forensik)
                        Yaitu bedah mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi,  seperti dugaan pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.
            Bedah mayat semacam ini biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya, karena tindak pidana kriminal atau kematian alamiah melalui visum dokter kehakiman (visum et reperthum) biasanya akan diperoleh penyebab sebenarnya, dan hasil visum ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan.
                        Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi jika tidak diketahui secara pasti pelakunya dan jika bukan karena kematian secara alamiah maka bedah mayat ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya orang-orang tertentu.
                        Seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi Forensik merupakan salah satu cara atau media untuk menemukan bukti.
Ø Kemungkinan terjadinya pembedahan mayat dapat disebabkan oleh :
          1.  Untuk Mengeluarkan Janin
                                 Bila seorang ibu meninggal dunia, dalam keadaan hamil, dan bayi yang dikandungnya masih dalam keadaan hidup. Dalam hal ini para ulama berselisih dalam menentukan hukumnya, apakah harus dibedah perut ibu atau tidak?
                        a.  Menurut Imam Malik dan Ahmad
                                           Mengatakan tidak boleh dibedah perut seorang ibu meskipun bayi yang dalam kandungannya masih hidup, namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan Farji oleh tenaga medis.
                                      b.  Sedangkan Menurut Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama Malikyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi dalam kandungannya.
                                      c.  Menurut Ulama Syafi’i
                                           Bahwa jika yang meninggal adalah seorang perempuan dan didalam perutnya ditemukan janin yang masih hidup, maka perut perempuan itu dibedah dalam keadaan darurat, maka pembedahan ini boleh dilakukan kalau ada harapan janin itu untuk hidup atau berumur 6 bulan keatas. Jika kurang dari 6 bulan tidak ada harapan untuk hidup, maka pembedahan itu haram dilakukan. Hal ini didasarkan sabda Nabi yang berbunyi :
                                           Artinya : “Sesuatu yang diperbolehkan karena, hanya boleh dilakukan sekedarnya saja.”
                        d.  Menurut Mazhab Maliki perut mayat tidak boleh dibedah
                                           Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa memecah tulang mayat sama haramnya dengan memecah tulang manusia yang hidup. (H.R. Abu Daud dari Aisyah binti Abu Bakar). Seiring dengan kewajiban terhadap mayat, yakni memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan sebagai penghormatan bagi mayat.
                        e.  Ulama Mazhab Hanafi sependapat dengan Mazhab Syafi’i
                                           Bahwa jika ada sesuatu yang bergerak dan diduga yang bergerak itu adalah janin yang masih hidup, maka perut ibu boleh dibedah demi membela kehormatan yang masih hidup.
                                           Senada dengan pendapat ini menurut Syekh Yusuf Dajwi (guru besar hukum Islam Mesir) mengatakan bahwa “bedah mayat itu merupakan darurat pada keadaan tertentu, seperti kematian yang diduga karena pembunuhan sehingga pembunuh sesungguhnya dapat diketahui.”
2.  Untuk mengeluarkan benda berharga dalam perut mayat.
                                 Dalam kitab fiqih, diantaranya kitab fiqih sebagian Mazhab Maliki dan umumnya Mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa “apabila seseorang pada masa hidupnya sempat menelan uang logam (koin), maka ketika ia meninggal perutnya dibedah untuk mengeluarkan uang logam tersebut.” Ukuran uang logam yang dikeluarkan tersebut lebih kurang bernilai ¼ dinar, atau 3 dirham (satu dinar = 4,5 gram emas, jadi ¼ dinar =1,125 gram emas).
                                 Nuruddin Atr (ahli hadits dari Syriah) mengatakan bahwa “jika sekedar mengeluarkan uang logam dari perut mayat dibolehkan, maka membedah mayat untuk mengetahui sebab kematiannya dan kepentingan ilmu kesehatan lebih diutamakan lagi, karena kepentingannya jauh lebih besar dari pada sekedar pembedahan untuk mengeluarkan uang logam yang tertelan itu.”
                                 Ketidakbolehan sebagaimana yang tertuang dalam hadits riwayat Abu Daud diatas merupakan keharaman secara umum tanpa ada tujuan yang bermanfaat. Akan tetapi, berdasarkan kebutuhan darurat, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kepintaran pelaku kriminal untuk alibi dalam satu pembunuhan, maka secara medis perlu dilakukan pembedahan mayat, hal ini menurut Hasan M. Makhluf termasuk kepada kaidah fikih yang mengatakan “segala sesuatu yang membawa kesempurnaan yang wajib, maka hukumnya wajib pula.”
                             3.  Menegakkan kepentingan umum
                                 Peralatan modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup menjadi alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan, karena sangat diperlukan dalam penegakkan hukum, dan sesuai dengan kaidah fiqhiyyah :
                                 Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat.
                             4.  Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan
                                 Diantara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak.
                        Sekiranya mayat itu diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran, maka menurut hukum Islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.
              Pembedahan mayat tidak boleh dilakukan secara berulang-ulang, karena mayat hendaknya segera dikuburkan bukan untuk dipamerkan.
                   Sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi :
                                 Artinya : Percepatlah mengantar jenazah ke kuburnya. Bila dia seorang yang shaleh maka kebaikanlah yang kamu hantarkan kepadanya dan dia kebalikannya, maka sesuatu keburukan yang kamu tanggalkan dari beban lehermu. (HR. Bukhari).

2.3   Hukum Bedah Mayat
                        Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang mengandung secara pasti tentang bedah mayat akan tetapi, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan isyarat mengenai landasan praktek bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Diangkasa mar (ufuk) dan yang ada didalam diri manusia itu sendiri. Seperti dijelaskan dalam Surat Funssilat Ayat 53 yang berbunyi :
                        Artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
                        Pengertian dalam diri manusia ini menurut para mufasir, berarti didalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.
              Dan dalam Surat Al-anbiya Ayat 35 yang berbunyi :
              Artinya : “Setiap yang bernyawa itu akan mengalami mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
                        Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Allah SWT menyatakan bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan dengan pernyataan Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia. Yakni dalam (Surat Al-Isra’ Ayat 70) yang berbunyi :
              Artinya :
                        “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
              Untuk menyingkap kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia di dunia, diperlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebab kemampuan yang dimiliki manusia terbatas. Dan semua cabang ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dimiliki oleh satu orang saja. Oleh karenanya diperlukan orang yang ahli dibidang tertentu untuk menjawab persoalan yang muncul jika kita tidak mengetahuiny, Seperti : orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter tentang penyakitnya agar bisa diobati.
                        Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis dapat berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada obatnya. (H.R. Abu Daud dari Abu Darda).
                        Hadits ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan, seperti bedah mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu.
                        Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya menetapkan hukum secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah SWT Surat An-Nisa Ayat 58 yang berbunyi :
                        Artinya : “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah sebaik-baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
                        Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara di pengadilan.

2.4   Otopsi Bagi Kepentingan penegak Hukum
Otopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan dengan maksud untuk mengetahui sebab-sebab kematianya di sebut juga obductie. Di Indonesia masalah bedah mayat atau otopsi diatur dalam pasal 134 UU No 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara pidana yang berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal sangat dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan dengan jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukanya pembedahan tersebut.
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ketemukan penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 UU ini.
Pasal 133 dari UU tersebut berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran dan atau ahli lainya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat yang dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otopsi atau bedah mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian mayat.

2.5   Pandangan Ulama Tentang Bedah Mayat (AUTOPSI)
Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat :
              1.  Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram
                        Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dengan mematahkannya pada waktu hidupnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
                   2.  Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh)
                        Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prisip-prinsip yang ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, “Apakah kita harus berobat?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit, yaitu penyakit tua.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).
                        Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara implisit (tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya.
          Autopsi anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau perangkat penelitian untuk mengembangkan keahlian dalam bidang pengobatan. Tujuan autopsi forensik sejalan dengan prinsip Islam untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam penetapan hukum.
                        Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat.Pertama, pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (jawaz). Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mith’i, bahwa bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan; mengambil harta orang, misalnya pertama, yang tersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).
                        Pandangan keduanya merupakan hasil rakhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus; mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almahumah tidak meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di atas hak Allah.
                        Dalam mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hambali melarang.
          Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadist Nabi kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. “Engkau jangan merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan merusak tulang seseorang yang masih hidup,” sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibnu Majah, dan Abu Daud dengan sanad yang sahih.
                        Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadits itu secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.
                        Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah, berkomentar terhadap hadits tadi. Menurutnya, hadits itu berlaku bila tidak ada kemashlahatan lebih krusial (mashlahah rajihah). Bila ada kemashlahatan lebih krusial yang wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-Dajwi.
              Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul :
              Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya, menyelenggarakan jenazah dikuburkan.
              Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan mashlahat lebih besar; memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek semata.

              Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan janazah untuk penelitian harus dilakukan dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
              Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan mekanismenya.
                        Kaidah dalam agama Islam, ulas Masdar F Mas’udi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai ada dalil yang menyatakan terlarang.
                        Organ tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena terkait dengan jiwa. Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah meninggal, karena itu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk menyelamatakan jiwa manusia. Hal ini dihargai dan dinilai sebagai amal jariah.
          Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik saat masih hidup atau izin keluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak teridentifikasi, izin diberikan oleh pemerintah.
Hal senada dikemukakan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran jika mendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap saat menghadap Tuhan.
                        “Saat seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menghadap Tuhan, sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan untuk riset dan pendidikan yang bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan mendapat pahala,” ujarnya.
                        Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia dr. Agus Purwadianto, SpF, SH, Msi, Indonesia telah memiliki peraturan dan fatwa mengenai bedah mayat, antara lain Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Kementerian Kesehatan No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak diharamkan dan tidak dihalalkan).
                        Dalam Fatwa No 5/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk kepentingan pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia (ATK).

2.6     Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Autopsi
Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1 disebutkan,”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal otopsi adalah haram.
Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada kebutuhan dari pihak berwenang.
Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;”
(1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
(2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point,
(3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan
(4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” (Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah).
Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;
Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi (yang membolehkan otopsi). Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan bahwa :
العام يبقى على عمومه ما لم يرد دليل التخصيص
Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid dalil at-takhshiish. (hukum yang berlaku umum tetap dalam keumumannya, kecuali ada dalil yang mengecualikan (mengkhususkan).”
Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan (al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah. Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang menurut kami dapat ditafsirkan sebagai “kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan, adalah argumentasi (dalil) yang lemah. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali kepada sumber hukum yang disebut Mashalih Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya. Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151).
Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak mayat, sesuai sabda Nabi SAW :
كسر عظم الميت ككسره حياً
“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).
Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul fiqih, juga tidak sah. Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat berkedudukan sebagai kondisi darurat). Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus Autopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah “sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati.” (Arab : wushuuluhu haddan in lam yataanawal mamnuu’ halaka aw qaaraba).
Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI tersebut tidak sah. Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi hak milik yang bersangkutan. Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat dia hidup. Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).
Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll) bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda waris (al muwarrits).
Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat dengan kaidah fiqih yang menyatakan :
من لا يملك التصرف لا يملك الإذن فيه
Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf [perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan izin [kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan hukum/tasharruf tersebut). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081;Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).
Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham ‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi bukti pembunuhan (bayyinah al qatl). Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari dua jalan pembuktian, yaitu : Pertama, pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh. Kedua, kesaksian (syahaadah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).
Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi laki-laki setara dengan dua saksi perepmpuan. Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, atau empat saksi perempuan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).
Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut, yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah gugur. Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan), yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang mati. PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif dan dianggap tidak merusak mayat.



BAB  III
PENUTUP

3.1   Kesimpulan
                        Sesuai dengan pembahasan yang sudah dikemukakan pada makalah ini, maka perihal status hukum bedah mayat ditinjau menurut hukum Islam melalui pendekatan teori-teori pada kaidah fiqhiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut:
                   1. Bedah mayat adalah suatu tindakan dokter ahli untuk membedah mayat karena dilandasi oleh suatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu seperti: kepentingan penegakkan hukum; menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat; untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat; dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran. Tindakan pembedahan yang didasari oleh motif-motif tersebut dibolehkan dalam ajaran Islam, bahkan bisa dihukumkan wajib apabila keperluan bedah itu menempati level hajat atau darurat.
                   2. Hadits yang melarang memecahkan tulang mayat atau dengan kata lain merusak mayat dalam pemaknaan penulis adalah apabila bedah mayat atau autopsi yang dilakukan seseorang tersebut dilakukan tanpa tujuan yang benar, maka hukumnya haram. Termasuk pula bila pembedahan mayat itu melampaui batas dari hajat yang dibutuhkan .

3.2   Analisis
          Kita tidak menemukan dalil yang sharih (tegas) baik di dalam Al-Quran Al-Kariem atau hadits-hadits nabawi semua hal yang terkait secara langsung dengan masalah otopsi mayat. Barangkali karena otopsi seperti di zaman sekarang ini belum lagi dikenal di masa lalu. Yang kita temukan hanya dalil-dalil secara umum dari sunnah nabawiyah tentang larangan merusak tulang mayat seorang muslim. Selain itu kita menemukan Perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Autopsi di perbolehkan Asal dilandasi maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu, sperti penegakan hukum, penyalamatan janin yang masi hidupdidalm rahim mayat, mengeluarkan benda yang berharga dari mayat; dan untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran. Tindakan pembedahan yang didasari oleh motif-motif tersebut dibolehkan dalam ajaran Islam, bahkan bisa dihukumkan wajib apabila keperluan bedah itu menempati level hajat atau darurat.
 Dan tidak boleh mengotopsi orang yang darahnya terlindungi (muslim atau kafir zimmy) kecuali dalam keadaan (darurat) Wajib melakukan otopsi dalam kadar yang minimal asal tidak merusak jasad mayat.  karena muliannya derajat seorang muslim di sisi Allah baik ketika hidup maupun mati.
untuk keperluan pendidikan (belajar anatomi dan belajari autopsi) diusahakan menggunakan mayat orang kafir, mayat seorang muslim boleh dibedah jika ingin diketahui sebab kematiannya untuk otopsi sebagai bukti di pengadilan. Mayat wanita tidak boleh diotopsi kecuali hanya oleh dokter wanita juga, kecuali bila memang sama sekali tidak ada dokter wanita.


3.3   Saran
        Diharapkan agar mahasiswa/i dapat memahami tentang Bedah Mayat. Karena pengetahuan ini sangat berguna bagi fokultas hukum dalam memenuhi mata kuliah kapita selekta hukum islam yang mana mempelajari tentang Bedah Mayat menurut pandangan  islam. Dalam pelaksanaan otopsi sebaiknya dokter memperhatikan kode etik yang berlaku dan tetap menghotmati mayit selama otopsi berlangsung maupun setetelah otopsi.
     Dokter tidak ragu dalam mengotopsi guna kepentingan umum, juga penegak hukum dalam rangka pembuktian.
     Hendaknya apabila mayat yang di otopsi itu perempuan, maka dokter yang memeriksa juga perempuan, kecuali apabila memang tidak ditemukan dokter perempuan
    


DAFTAR PUSTAKA


Hasan, Muhamad Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.


Al-Suyuthi, Imam. 2005. Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu fiqh
al-Syafi’i, tahqiq oleh Muhammad Hasan Islamil al-Syafi’i, Juz I, Beirut:

Dar al-Kutub Ilmiyah

Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas.


Mahjuddin. 2005. Masailul Fiqhiyah :Berbagai Kasus yang dihadapi “Hukum
Islam”masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia


Hubais, Umar, 1993. Fatwa, Menjawab Masalah-masalah Keagamaan Masa
Kini, cet 7, Jakarta: PT. Al-Irsyad


Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pasar Input

MAKALAH ANTROPOLOGI BUDAYA

Makalah SOSIOLOGI HUKUM